Open Source, sering sekali kita mendengar kata ini, sebenarnya apa sih open source itu ? untuk apa dibuat ? Siapa pembuatnya ? Dan bagaimana open source itu ?. Bagi sebagian orang terkadang masih belum mengerti apa sebenarnya open source itu, apalagi bagi mereka yang tidak memiliki background IT, tentu akan keliru dalam mengartikan apa itu open source.

Istilah open source, diperkenalkan oleh Richard Matthew Stallman (beliau lahir 16 maret 1953 di mahattan, Amerika). Awalnya beliau membuat sebuah project dengan nama GNU Project, yang mana dalam project ini beliau mencoba membuat sebuah Operating System mirip UNIX, lengkap dan bebas. Sebagai kelanjutan dari GNU project, tahun 1989 beliau membuat sebuah lisensi turunan Copyright, yang dinamakan dengan Copyleft. Dalam Copyleft terdapat empat unsur dasar yaitu , bebas menjalankan program, bebas mempelajari dan mengadaptasi program sesuai kebutuhan, bebas medistribusikan ulang, dan bebas meningkatkan program dan mendistribusikanya. Copyleft diharapkan bisa memberikan kebebasan bagi setiap orang untuk mengembangkan, mendistribusikan, mengubah dan meningkatkan kemampuan software tanpa harus berurusan dengan lisensi.


Banyak orang awam yang menyamakan Open Source dengan freeware (Software gratis). Padahal keduanya sangat berbeda. Open Source adalah sebuah software yang source code-nya, dipublikasikan secara bebas kepada khalayak umum dibawah lisensi GPL, yang mana setiap orang bebas untuk mengembangkan, mengubah, memanipulasi dan mepublikasikan ulang source code tersebut tanpa perlu berurusan dengan masalah hak cipta, dengan kode etik tertentu. Lawan dari Open Source adalah Close Source, yaitu sebuah software yang source code-nya tidak dipublikasikan kepada khalayak umum. Sedangkan Freeware adalah sebuah software yang disebarluaskan dalam bentuk binary (hasil compile), dan untuk memakainya tidak dipungut biaya apapun atau gratis. Lawan dari Freeware adalah Shareware, yang mana untuk memakai software tersebut dikenakan sejumlah biaya untuk membayar developernya. Sehingga sebuah Freeware dan Shareware bisa menjadi Open Source atau Close Source.


Yang akan penulis ulas di sini adalah sebuah Freeware yang Open Source, atau lebih dikenal dengan sebuat Free Open Source Software (FOSS). Kebanyakan orang menyingkat Free Open Source Software dengan Open Source saja. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini software Open Source yang dimaksud adalah Free Open Source Software.


Kelebihan dari FOSS, selain karena free tentu saja karena sifatnya yang open . Sifatnya yang free memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk memakai tanpa perlu membayar, ditambah dengan sifat open, yang mana memberikan keleluasaan bagi siapapun dan dimanapun, baik itu programmer tingkat tinggi maupun newbie, untuk memberikan konstribusinya secara bebas, bagi perkembangan software tersebut. Tentu saja untuk ikut serta dalam melakukan pengembangan sebuah FOSS terdapat kode etik yang harus dipatuhi.


Kelebihan dari FOSS tersebut, bukan berarti tanpa kelemahan. Karena FOSS bisa dikembangkan oleh siapa saja, maka untuk melakukan control versi sebuah source code akan menjadi lebih sulit. Hal terburuk yang bisa saja terjadi karena masalah ini adalah jika seandainya source code yang sejatinya digunakan untuk tujuan yang bermanfaat, diubah oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk kepentinganya sendiri, sehingga menimbulkan kerugian jika dipakai oleh orang lain. Salah satu contohnya adalah kasus seorang hacker yang menambahkan sebuah script Trojan pada installer Joomla, yang mana script tersebut akan mengirimkan cookie kepada sang hacker melalui layanan e-mail jika diinstall pada sebuah komputer, dengan cara ini sang hacker bisa mencuri data-data pribadi korban. Tidak adanya garansi maupun dukungan teknis mengenai kualitas dari software yang dihasilkan juga merupakan masalah dalam FOSS. Ketersediaan dana yang terbatas bagi para developernya menjadi masalah yang paling serius, karena bisa menghambat pertumbuhan FOSS. Hal ini disebabkan karena sebagian besar developer software FOSS adalah para pihak swasta yang melakukan developing software dengan dana mereka sendiri, sedangkan saat software tersebut dilaunching tidak sepeser pun uang yang didapat dari para user atas hasil jerih payah mereka. Dalam keadaan seperti ini bantuan dari para donatur sangat diharapkan, agar perkembangan software tersebut dapat terus dilanjutkan.

Banyak orang saat ini memilih software FOSS sebagai landasan untuk software yang mereka pakai (user) atau yang mereka buat (developer), tapi tidak sedikit pula yang tetap bertahan pada software Propietary. Alasan developer memilih FOSS karena sifatnya yang open, yang memberikan sebuah nilai filosofi tersendiri. Bagi mereka, source code adalah sebuah kode matematika, dan tidak seharusnya matematika tersebut ditutup-tutupi, tetapi harus disebarluaskan agar setiap orang bisa memakai dan mengembangkan secara bebas untuk kepentingan bersama. Ini dilakukan demi kebaikan source code itu sendiri, karena dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi siapa saja untuk turut serta pengembangan, tentu akan membuat source code tersebut menjadi lebih baik dalam waktu yang relative lebih cepat, karena ditangani oleh banyak orang. Selain itu, open source juga memberikan konstribusi untuk memompa kreativitas semua orang, sehingga memiliki andil dalam bidang edukasi. Sedangkan bagi developer yang menolak FOSS, mereka beralasan untuk menghormati para pembuat source code tersebut. Sehingga hasil jerih payah mereka tidak dipakai orang seenaknya tanpa memberikan imbalan sepeser pun, bagi orang yang telah bersusah payah membuatnya. Dengan demikian Open Source bisa dikatakan tidak menghargai hasil kerja keras para developer. Lain halnya dengan para user, mereka yang memakai software FOSS, lebih tertarik pada sifatnya yang free, sehingga tidak perlu megeluarkan dana untuk memakainya. Selain itu juga membebaskan mereka dari jerat hukum karena masalah lisensi. Sedangkan alasan mereka yang lebih senang membeli software proprietary, karena beranggapan bahwa software proprietary memiliki dukungan after sale yang bagus, user friendly, mudah dipakai, kualitasnya terjamin, lengkap, dan mampu menjawab semua kebutuhan mulai dari komputer desktop, server, sampai tingkat enterprise sehingga memberikan kemudahan bagi para pemakainya saat menemui masalah dengan software tersebut.


Terlepas dari masalah perbedaan sudut pandang yang penulis kemukaan diatas, saat ini open source telah dan berkembang pesat dan berhasil menjawab hampir seluruhnya tantangan kebutuhan para penggunanya. Linux misalnya, dahulu merupakan sebuah OS yang ditakuti oleh para user awam karena tampilanya text base, sulit dioperasikan dan hanya cocok untuk komputer server. Sekarang hampir seluruh kebutuhan komputasi, mulai desktop, server sampai tingkat enterprise bisa ditangani. Saat ini Linux datang dengan tampilan yang lebih memukau dan user friendly, serta kebutuhan resource yang lebih hemat. Sebagai bukti, Project Berryl yang menjadi andalan dalam GUI Linux, berhasil mengalahkan tampilan aero Windows Vista, baik dari sisi resource maupun keindahan tampilanya. Blender menjadi solusi 3D animation, yang mencoba menggulingkan pasar 3DS Max. Gimp yang menantang Photoshop, OpenOffice.org yang membabat dominasi Microsoft Office, dan Java yang menjadi bahasa pemrograman terlaris di dunia, mengalahkan C#.Net. kesemuanya itu merupakan bukti keberhasilan Open Source. Dengan perkembangan kemampuan yang sepeti itu, tidak ada alasan untuk tidak mencoba dan belajar software Open Source.

Berryl

Aero

Di Indonesia banyak sekali lembaga baik milik pemerintah maupun swasta yang turut serta memajukan semangat open source. Mulai dari munculnya komunitas-komunitas open source sampai diadakanya seminar dan workshop mengenai open source. Seminar dan workshop itu pun bermacam-macam, mulai dari sekedar pelatihan, pengenalan dan migrasi, sampai bagian rumit yang membutuhkan keahlian khusus untuk memahami hal tersebut (setting jaringan misalnya). Selain itu sosialisasi masalah open source mulai digencar-gencarkan dimana-mana, foto-foto penguin (logo Linux) dan setan merah (logo FreeBSD) terpasang disetiap sudut jalan, banyak tokoh-tokoh pendukung FOSS di Indonesia, seperti bapak Onno W. Purbo, juga mengadakan seminar dan workshop di sekolah-sekolah dan kampus-kampus secara gratis. Pemerintah sendiri saat ini sudah mengembangkan sebuah distro yang digunakan untuk memajukan Open Source di Indonesia. Distro tersebut adalah IGOS nusantara, dengan semboyan Indonesia Go Open Source.


Namun terdapat hal yang perlu disayangkan, perjuangan mereka yang memajukan FOSS dengan tujuan memajukan pendidikan dan kemandirian bangsa, dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Pola pikir masyarakat Indonesia yang masih mementingkan gengsi, sikap manja, budaya yang konsumtif serta pandangan yang mengatakan bahwa software proprietary pasti lebih baik, membuat perjuangan mereka sedikit tersendat. Ditambah dengan kurikulum di sekolah dan kampus yang masih bergantung pada software proprietary malah semakin memperburuk keadaan.


Beberapa tahun yang lalu penulis sempat mendengar kabar, bahwa para anggota legislative akan dibelikan sebuah notebook seharga kira-kira 20 juta, plus OS dan software pendukung seharga sekitar dari 5 juta tiap orang (25 juta per orang mungkin pakai mesin Apple dan OS MacOS). Entah memang segitulah harga notebook tersebut atau ada maksud lain dari penganggaran tersebut penulis tidak tahu. Namun yang pasti, notebook semahal itu tentu menggunakan spesifikasi hardware yang canggih lagi mahal, didukung dengan software proprietary yang tidak kalah mahalnya. Inilah pola pikir bangsa Indonesia saat ini yang masih menganggap bahwa yang berbayar pasti lebih baik. Jika dipikir lebih mendalam, tentu hal ini tidak tepat sasaran, karena kebutuhan seorang anggota legislative hanya untuk mengetik, chatting, atau browsing. Notebook seharga 4 juta, tentu sudah mencukupi.

Selain hal tersebut, kabarnya pemerintah juga akan mengadakan hubungan kerjasama dengan Microsoft Indonesia mengenai masalah diskon pembelian produk dari Microsoft. Produk-produk tersebut nantinya akan dipakai pada instansi pemerintahan terutama yang berlokasi di daerah-daerah. Dengan jumlah instansi Indonesia yang sangat besar dan tersebar dimana-mana, tentu akan sangat besar pula jumlah produk yang nantinya bakal dibeli oleh pemerintah dari Microsoft. Jika nilainya diakumulasikan, tentu tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan negara.


Pada instansi pendidikan seperti kampus dan sekolah pun, juga masih memandang sebelah mata software Open Source. Ketergantungan instansi tersebut pada software proprietary masih sangat tinggi. Sebagai bukti penulis pernah melihat sekolah SMA yang memberikan sertifikat lulus Microsoft Word (maaf bukan maksud penulis menjelek-jelekan salah satu produk), tapi tidak pernah ada sertifikat lulus OpenOffice.org Writer, padahal untuk membeli satu set Microsoft Office tidak sedikit uang yang harus dikeluarkan pihak sekolah. Parahnya lagi, ada beberapa pihak sekolah yang justru menggunakan software bajakan untuk dipergunakan dalam proses belajar mengajar, hal ini tentu mencoreng nama baik instansi pendidikan. Di lingkungan kampus, hal serupa juga terjadi, penulis menjumpai sebuah PTN yang mengadakan hubungan kerja sama dengan Microsoft yang lebih dikenal dengan Microsoft Campus Agreements. Tentu saja disana terdapat sejumlah uang yang harus dikeluarkan pihak kampus untuk membayar lisensi software-software tersebut. Ini dilakukan pihak kampus agar para mahasiswanya tidak menggunakan software bajakan, menyusul aturan pemerintah yang mensahkan UU ITE dan HaKI. Padahal, hal ini justru akan memanjakan para mahasiswanya untuk semakin tergantung pada software proprietary.


Dalam masyarakat sendiri, keberadaan Open Source hanya menjangkau sebagian orang. Sedangkan yang lain masih memilih bertahan untuk menggunakan software proprietary daripada Open Source (lihat saja di warnet-warnet, OS apa yang dipakai ?). Mereka beralasan tidak biasa dalam menggunakan Open Source dan tidak siap jika harus berpindah secara serentak dari software proprietary ke Open Source. Masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah keatas, mungkin tidak masalah jika harus membeli lisensinya, tapi bagi mereka dengan tingkat ekonomi lemah, tentu tidak sanggup untuk membeli, sehingga jalan pintas yang ditempuh adalah dengan melakukan pembajakan software.


Melihat hal yang saling bertolak belakang ini, tentu sangat ironis. Di satu sisi, sebagian kelompok berusaha memajukan FOSS di Indonesia, sedangkan di sisi lain banyak pihak tertentu yang masih bergantung pada Software proprietary. Jika ditelusuri lebih mendalam, inti permasalahanya adalah ketidakmauan kita untuk belajar menggunakan Open Source, padahal - seperti yang dikatakan penulis sebelumnya- melihat perkembangan open source saat ini, tidak ada alasan untuk tidak mencoba dan mempelajari Open Source. Kebanyakan dari kita terlalu manja, sehingga terus-menerus bergantung pada software proprietary. Pandangan lama mengenai Open Source agaknya sudah mengakar kuat.


Lalu bagaimana solusinya ? ini adalah pertanyaan tersulit yang untuk menjawabnya harus dilihat dari berbagai sudut pandang. Penulis tidak dapat memberikan solusi apapun dari permasalahan diatas, semuanya berpulang pada individu masing-masing. penulis hanya mengajak dan mengemukakan pendapat semata.


Mari kira berfikir mendalam, dan lebih mendalam lagi. Bayangkan jika anggota legislative Indonesia tersebut jadi untuk membeli notebook yang dianggarkan tersebut. Dengan jumlah anggota legislative sebanyak 200 orang misalnya, jika dihitung secara kasar, artinya Negara mengeluarkan 200*25 juta = 5 Milyar. Bandingkan jika para anggota legislatif tersebut membeli computer sesuai kebutuhan seharga 4 juta untuk hardware dan memakai software Open Source (FOSS) yang artinya gratis, berarti Negara mengeluarkan 4 juta * 200 = 800 juta, atau ada sekitar 4,2 Milyar yang terselamatkan. Itu salah satu contoh pada kasus pembelian notebook para anggota legistalif. sekarang bayangkan jika kita tidak lagi bergantung pada Software proprietary, jika kampus tidak lagi mengadakan MCA dengan Microsoft, jika institusi pendidikan tidak lagi menggunakan software bajakan , jika warnet-warnet tidak lagi menggunakan OS bajakan, maka akan sangat besar keuntungan yang didapat oleh Indonesia, tidak hanya dari sisi keuangan negara dan masyarakat, tapi pemerintah juga tidak perlu bersusah payah melakukan razia-razia karena pelanggaran HaKI dan UU ITE.


Lebih dari itu, jika setiap individu bisa mengikuti harapan para pendiri Open Source (yang mana memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi siapapun secara gratis untuk mengembangkan software yang dibuat) maka mungkin tidak ada lagi pembajakan, tidak ada lagi para virus maker (karena semua orang sibuk untuk berlomba-lomba turut serta mengembangkan system tersebut), kreativitas setiap orang terpacu untuk turut serta mengembangkan software sehingga software akan semakin bagus karena benar-benar dikembangkan oleh semua orang di dunia, Hacker tidak lagi menggunakan kemampuanya untuk melakukan hal negative karena kemampuan lebih mereka tersalurkan untuk hal yang positif, sehingga pada giliranya mereka yang memiliki kemampuan lebih di bidang IT dan telah berjasa dalam mengembangkan sebuah software, akan mendapatkan penghargaan yang layak dari para pengguna software tersebut, sehingga apa yang ditakutkan mereka yang pro pada Software Propietary (yaitu takut pembuat software tidak mendapat imbalan dan kehabisan dana untuk pengembangan software ) akan menjadi tidak beralasan.


Harapan penulis, di masa mendatang pemerintah lebih serius lagi dalam menangani pertumbuhan Open Source di Indonesia, baik dengan mengadakan seminar dan workshop secara gratis atau dengan membantu pihak-pihak swasta seperti komunitas dan forum-forum open source, yang mana mereka dengan rela hati tanpa dibayar, memberikan seminar dan workshop pada masyarakat umum untuk menggunakan Open Source. Lebih-lebih bisa melakukan migrasi secara serentak dari software proprietary ke software open source pada berbagai elemen negara seperti instansi pemerintahan dan pendidikan. Lebih baik lagi jika kurikulum mata pelajaran IT di sekolah-sekolah, diubah dari berbasis software proprietary seperti saat ini, menjadi berbasis software OpenSource. Sehingga mendidik siswa untuk berkreasi dengan OpenSource (karena Open Source menuntut kita untuk semakin kreatif dalam mengembangkan sebuah source code) dan menghindari bahaya laten pembajakan (yang dapat membentuk pola pikir siswa untuk menggunakan software bajakan sehingga merugikan martabat bangsa).

Sebagai penutup, segala yang ditulis di sini hanyalah pendapat penulis sendiri, pembaca boleh setuju dan boleh tidak. Penulis hanya mengajak agar pembaca sadar dan membuka pikiran tantang Open Source, sehingga cara pandang lama terhadap Open Source bisa berubah. Namun semua itu berpulang pada individu masing-masing. Tulisan ini dibuat untuk menyukseskan Lomba Blog Open Source P2I-LIPI dan Seminar Open Source P2I-LIPI 2009. Bukan untuk merugikan satu pihak dan memberi keuntungan pihak lain. Let’s Go Open Source, Indonesia !!!

Categories:

1 Response for the "Indonesia Go Open Source, antara Harapan dan Kenyataan."

  1. Salam kenal, Mas. Saya mau tanya:

    Yang mencetuskan istilah open source itu bukannya Mbah Para Hacker Eric S Raymond? Bukannya Richard Stallman itu mencetuskan Free Software?

    Oiya, masalah FOSS kalah...apa daya? Semuanya dimulai dari kemauan. Kalau nggak ada? Ya tinggal cerita. Maka yang perlu dibina pertama adalah kemauannya itu. Yah, mungkin kemauan/kerelaan untuk menghindari barang bajakan untuk cari uang.

    Salam hangat dan jabat erat,


    Ade Malsasa Akbar
    Belajar Linux Ubuntu | http://teknoplasma.com
    Pribadi | http://malsasa.co.cc

Posting Komentar

your Ads Here

Your Ad Here FellowEquality.com